Senandung di Puncak
Dentuman terdengar kencang. Ia terpuruk. Kereta gantung Seiser Alm mendadak berhenti dengan kasarnya, mengayun kabin yang ditumpanginya dengan kencang. Tengoknya ia kesana-kemari penuh kecemasan. Jendela ia dekati, berjinjit perlahan supaya tidak memperparah ayunan kereta gantung, dan kemudian menerawang ke luar hingga hidungnya menekan kaca. Nafasnya yang terhembus dengan interval pendek karena panik membentuk uap air yang menghalangi pandangannya. Kereta gantung itu memang sudah tua, warna catnya sudah pudar, karat jendela menghiasi interior kabin, dan bunyi ringkikan besi tua yang terayun terdengar sepanjang perjalanan ke atas. Dia terengah. Takut ketinggian.
Satu langkah. Dia ambil dengan kaki yang gemetar dan mata yang penuh waspada, menapak akhirnya pada peron kereta gantung dengan ketinggian 1800 meter di atas permukaan bawah laut. Segeralah ia berlari menjauhi kabin yang tadi sempat mati dan membuatnya gusar selama sepuluh menit. Ia berlari, merentangkan tangannya menyambut udara sejuk, tersenyum lega, dan kemudian hilang menuju cahaya matahari yang menghalangi pandangan ke luar.
Senyum miris hiasi wajahku yang masih di dalam kabin melihat anak laki-laki itu. Andai aku bisa seperti dia, berjiwa bebas mengekspresikan perasaan tanpa malu dilihat orang. Kutengokan kepalaku ke kaca. Kulihat bayang binaran mataku yang terpantul di antara karat-karat jendela. Binaran yang menunjukkan ketidaksabaranku menyusuri pegunungan Siusi, yang sama dengan binaran anak laki-laki itu.
Ketika kecil ayahku sering membawaku naik kapal feri, yang dari atas doknya kusaksikan matahari tenggelam di ufuk langit. Pemandangan itu selalu berhasil membuat nafasku terhenti. Hal yang sama kurasakan menyaksikan rangkaian gunung Siusi yang tak habis-habisnya dari pelupuk mataku. Entah apa yang di pikiran-Nya untuk membuat hamparan gunung secantik ini dengan rupa yang berbeda-beda. Hatipun meloncat-loncat kegirangan. Bayangan gunungnya menari-nari mengajakku menjajalnya.
Seperti anak lelaki di kereta gantung tadi, kutempelkan hidungku di kaca bis yang kunaiki dari Compaccio, pemberhentian kereta gantung Seiser Alm tadi, menuju Saltria, desa kecil dimana puncak pendakian dimulai. Mataku berusaha menanggalkan kecantikan hamparan gunung-gunung tersebut di sela-sela uap nafas yang terhembus pada kaca bis. Mataku tertawan. Kulihat dia, Plattkofel, puncak gunung yang miring yang menjadi saksi tumpah darah perang dunia pertama.
Pagi yang cerah! Aku bisa santai di kaki gunung Plattkofel ini. Di sini ada pondok Zallinger yang punya ayunan dan perosotan. Tantenya juga baik banget, aku dibawa keliling liat hamparan gunung Siusi. Terus nanjak sedikit ada peternakan yang menjual keju enak banget. Di sana aku lihat om yang tadi barengan di kereta gantung. Dia juga lagi menikmati kejunya. Makannya lahap, kayaknya capek habis turun dari Plattkofel mengejar matahari terbit.
Aku lanjut naik gunung sorenya setelah makan keju. Dari Plattkofel aku dan mama lanjut ke daerah namanya Tires. Udah lama jalan tapi kok ini ga sampe-sampe, padahal mama bilang setengah jam lagi. Aku udah capek banget. Tapi mama selalu bilang,
“Katanya kamu udah kangen sama kakek. Ini sebentar lagi sampe ke tempat dimana kakek kamu banyak habiskan waktunya pas muda. Walau kakek udah ga ada lagi, banyak foto-fotonya di sana. Nanti mama juga mau masakin kamu resep enak buatan kakek.”
Aku banyak dengar cerita hebat tentang kakekku. Katanya dia seorang pahlawan! Makanya aku bela-belain ke sana. Aku mau jadi seperti dia.
La montanara o-he
si sente cantare,
cantiam la montanara
e chi non la sa?
Sore yang cerah. Disambut iringan harmonika yang memainkan La Montanara, lagu tradisional yang diciptakan di tahun 1930-an, di periode yang sama ketika Franz mengakhiri pengabdiannya sebagai serdadu perang. Ia mendiami Tires pasca perang, di tahun-tahun dimana kelaparan melanda akibat habisnya pangan yang terbakar. Di tahun-tahun dimana pula penduduk meninggalkan Tires dan kehilangan kampung halamannya. Tetapi Franz tetap diam dan abdinya untuk membuat tempat peristirahatan dan sumber pangan bagi penduduk di sana dan bagi para musafir. Denti di Terrarosa yang adalah titik pertemuan jalur-jalur pendakian di Tires, dipilihnya untuk merealisasikan tekadnya.
Pondok Tires. Ia dirikan bermodalkan kapak dan kayu.
Franz, namanya berulang kali disebut ayahku. Seorang penyelamat. Seorang pahlawan. Selalu diceritakannya saat kali ia bertemu Franz. Ayah yang saat itu berumur 9 tahun desanya habis terbakar api peperangan, melarikan diri tanpa arah penuh dengan luka bakar mencari tempat pengungsian. Sengatan matahari memedihkan setiap titik lukanya dan dinginnya malam menembus ke syaraf-syaraf otaknya. Di ambang kematian. Begitu katanya menyingkati keadaannya itu. Hingga ketika Franz yang sedang mencari kayu menemukannya terkapar 3 hari tanpa sadar di tanah beralaskan bunga-bunga aster yang baru tumbuh.
Pondok Tires. Di situ kududuk mengenang cerita ayah. Mungkin di situlah tempat yang sama ayah duduk bersama Franz memandangi puncak-puncak Denti di Terrarosa yang mencuat bak taring-taring gigi yang tak beraturan. Sampai ketika kudengar suara wanita meminta tolong. Hatiku berdegup. Ku berdiri dan berlari mencari arah mana suara itu.
Takut setengah mati. Aku gelantungan. Tangan kananku memegang batu di sisi jurang. Sedetik lalu aku lagi lari-larian di pinggir tebing dan ga sadar aku tersandung kakiku sendiri dan jatuh ke jurang. Tanganku gemetaran. Aku dengar suara mama meminta-minta tolong. Tapi degup jantung aku terdengar lebih kencang memenuhi telingaku. Darah mengalir dari kepalaku menghalangi mataku. Aku tutup mata. Aku ga mau mati. Kudengar suara retakan batu yang kupegang makin lama makin kencang. Aku bakalan mati.
Kuraih tangannya. Kucengkeram. Kutarik dia dan kuikat ke punggungku. Matanya masih terpejam. Badannya berguncang kencang. Ku berbisik,
“Hey, adik manis, kamu tahu lagu La Montanara?” seruku mengalihkan rasa takutnya.
“Tau,” suaranya bergetar, nyaru diterpa angin.
“Yuk kita nyanyikan. Kita akan baik-baik saja. Mama udah nunggu di atas.” Kubuat suaraku setenang mungkin walau takut pun menjalariku.
Perlahan-lahan kudaki lagi jurang itu. Batu-batu kerikil berjatuhan setiap pijakanku, dan jari-jariku merogoh-rogoh batu yang bisa kujadikan pegangan. Sambil ku bernyanyi,
La montanara o-he
si sente cantare,
cantiam la montanara
e chi non la sa?
Kami bertatap mata. Udara sejuk masih bisa kami hirup kembali. Beristirahat menenangkan hati dari apa yang baru saja terjadi. Kami selamat. Duduk kembali di Pondok Tires. Gigi-gigi Denti di Terrarosa yang disinari matahari terbenam masih bisa kami nikmati. Ada rasa yang menyeruak setelah kuselamatkan anak itu. Rasa lega seakan aku bisa melunasi budi yang tak pernah berharap. Budi yang lama didoakan untuk mendapatkan kesempatan terbalaskan.
“Lain kali kalo naik gunung jangan suka lari-larian, apalagi kalo sedang di tepi jurang,” kataku.
“Iya,” jawabnya. Matanya masih setengah kosong.
Kuelus kepalanya. Ia masih termenung. Kucoba alihkan pikiran dan rasa takutnya. “Ngomong-ngomong suara kamu bagus tadi nyanyinya.” Lanjutku.
“Iya aku senang nyanyi, mamaku ajariku menyanyi,” jawabnya.
“Mamamu yang juga ajari kamu lagu La Montanara?” Lanjutku.
“Oh bukan, kalo itu kakek aku yang ajarin," matanya berbinar seketika membicarakan mengenai kakeknya. Ia menatapku dan berucap,
"Namanya Franz."